Thứ Hai, 23 tháng 9, 2013

[Road Less Traveled] Serunya Blusukan di Yogyakarta


Saya cuma bisa duduk diam, lihat kiri-kanan, dan mainan HP ketika saya berada di Stasiun Tugu pada jam 5 pagi. Rencana dan jadwal untuk eksplorasi Jogja 2 hari ke depan sudah saya susun sematang mungkin. Namun saya harus tetap menunggu kira-kira selama 2 jam sampai bus TransJogja beroperasi. Traveling singkat saya kali ini bertujuan untuk mengeksplorasi ke daerah selatan Yogyakarta, tepatnya pantai di kawasan Gunung Kidul. 

Saya tertarik untuk berkunjung ke beberapa pantainya karena memang pantai-pantai di kawasan ini terkenal masih "perawan". Hasil searching om Google dan baca-baca beberapa blog, akhirnya saya mendapat data-data tentang bagaimana caranya mencapai lokasi tersebut. Namun ternyata saya membuat kesalahan yang cukup fatal ketika sudah sampai di tengah jalan. Kesalahan apa itu? Tentunya bakal dibahas di tengah cerita.


Bus menuju Wonosari
Waktu menunjukkan jam 6 pagi, saya langsung "meluncur" ke halte TransJogja terdekat di Malioboro. Sebentar-sebentar harus buka HP  demi memastikan jalur bus yang benar (bakal berabe kalau salah). Dari sini saya harus naik bus yang mengarah ke tujuan terjauh, yaitu Terminal Giwangan. Sesampainya di Terminal Giwangan saya harus pindah lagi ke bus kecil menuju arah Wonosari. Saya sempat bingung karena masih benar-benar "buta" daerah Wonosari. Makanya saya coba tanya-tanya penumpang bus yang saat itu mayoritas orang-orang tua. "Nanti kamu turun di dekat terminal Wonosari, abis itu  lanjutin naik bus lagi ke arah dalam.", kata seorang ibu tua. Kemudian seorang kakek berpeci di belakang saya juga ikut memberi sarannya dengan bahasa Jawa yang cuma saya tanggapi dengan manggut-manggut saja. 

Tiba-tiba saja di dalam bus itu menjadi ramai dan heboh, karena semua penumpang memberikan sarannya pada saya. "Kenapa kamu nggak bawa motor sendiri saja ke sananya?", kata mbak-mbak di sebelah saya. Benar juga kata dia, tapi saya berpikiran bahwa perjalanan semakin seru dan penuh kejutan bila saya naik-turun kendaraan umum. Bikin diri tersesat dan blusukan ke tempat-tempat baru, itu baru yang namanya petualangan.

Singkat cerita, tibalah saya di perempatan dekat dengan terminal Wonosari. "Naik bus yang itu, ya! Nanti ikutin jalan terus aja ke dalam.", kata seorang ibu berkali-kali pada saya. Berasa kayak turis nyasar masuk pedalaman yang nggak tahu apa-apa. Saya cuma bisa bergantung pada para warga lokal sebagai kompas utama. 

Bus berjalan ke arah pedesaan yang jalan aspalnya makin lama makin berliku dan naik turun. Sepanjang jalan hanya terlihat perumahan khas desa dan bukit-bukit terjal. Tak terasa bus ini sudah berjalan selama 1 jam. Kiri-kanan hanya terlihat hutan luas dengan pepohonan yang tandus. Entah sudah berapa kali saya tanyain mas supir, "Pantai Wediombo masih jauh, mas?". Sempat khawatir juga karena nggak sampai-sampai.

Anak-anak duduk di dashboard
Bus berhenti di depan SD negeri yang baru saja bubaran jam sekolah. Dengan asumsi saya yang ternyata benar, puluhan anak SD itu masuk serombongan ke dalam bus yang sudah nggak muat penumpang lagi. Baru kali ini saya mengalami pengalaman unik saat saya traveling. Posisi saya duduk di depan bersebelahan dengan mas supir dan mbak-mbak. Tiba-tiba 4 anak SD masuk di bagian depan yang saat itu benar-benar sudah sempit. Seorang anak duduk di tengah mbak dan saya, 3 anak lainnya malah duduk di atas dashboard dengan posisi menghadap ke belakang. Kursi bagian belakang juga penuh sesak dengan bubaran anak-anak SD dan penumpang lain. Bayangin aja, gimana rasanya jadi pepes seketika di dalam bus kecil! Si mas supir malah masih pingin nyuruh anak-anak lainnya masuk pula ke dalam. Saya yakin betul kalau per ban bus sudah pasti turun dan tetap saja mas supir nggak peduli akan hal itu.

Beberapa menit kemudian saya turun di sebuah pertigaan. Di situ saya coba naik ojek agar nasib saya ke depannya lebih jelas. Abang ojek matok harga nggak wajar Rp 200.000 keliling pantai-pantai dan balik lagi ke Yogya. Tawar menawar cukup alot antara saya dan 3 tukang ojek yang berlangsung selama 10 menit. 

Mau tidak mau saya ambil harga Rp 150.000 sampai tujuan akhir terminal Wonosari. Tentu saja mahal banget! Saya terpaksa merogoh kocek lebih agar saya bisa kembali ke kota, mengingat pada saat itu sudah siang hari dan pada sore harinya tidak ada bus kembali ke Wonosari. Saya pun juga harus mengejar waktu karena sudah memesan kamar di sebuah losmen di Malioboro. Mau tidak mau saya harus ambil keputusan mahal ini.

Pantai Kukup
Akhirnya saya membatalkan niat saya ke Pantai Wediombo. Sebagai gantinya, abang ojek menyarankan saya ke Pantai Kukup dan sekitarnya. Jalanan pedesaan di kawasan Gunung Kidul ini terasa sepi sekali, cuma ada beberapa mobil yang lalu-lalang. Pemandangan di Pantai Kukup cukup indah. Hanya terdapat beberapa warga lokal yang berkunjung sehingga berasa seperti pantai milik sendiri. Di sini kita bisa melihat pemandangan indah pantai dari ketinggian dengan mendaki tangga menuju pondok kecil di atas sebuah karang yang besar. Sayangnya, saya harus segera kembali ke Malioboro, sehingga saya tidak bisa explore pantai-pantai lainnya yang mungkin lebih indah. 

Pantai Kukup lagi
Bila saya menyewa motor, maka saya bisa memiliki waktu eksplorasi yang lebih banyak dibandingkan dengan naik-turun kendaraan umum. Sudah begitu saya harus keluar budget lebih dari biasanya. Seharusnya saya mencari data-data lebih lagi agar tidak melakukan kesalahan serupa di kemudian hari. Saya cuma bisa berpikir ambil sisi positifnya saja. 

Lewat kesalahan ini, saya malah jadi mengenal keramahan warga lokal. Kapan lagi saya bisa mengalami kejadian-kejadian unik seperti yang sudah saya ceritakan di atas? Setiap perjalanan pasti mempunyai cerita unik dan seru tersendiri, dan inilah pengalaman blusukan saya. Jadi ingat salah satu tagline yang pernah saya baca "It's not about the destination, but the journey."

"Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time"

0 nhận xét:

Đăng nhận xét