Pastinya sudah banyak sekali para travelers yang terpaksa harus bermalam di airport. Biasanya para travelers yang ngga rela keluar budget lebih untuk bermalam di hotel terdekat. Bisa juga karena sudah memesan tiket murah jauh-jauh hari sehingga jarak waktu transit penerbangan berikutnya sangat jauh. Akhir September 2013 lalu saya sempat merasakan hal tersebut untuk pertama kalinya di airport LCCT, Kuala Lumpur.
Saya beserta 2 teman jalan saya terpaksa bermalam di sana demi menunggu flight ke Ha Noi pada pukul 06:35 esok harinya. Nggak mungkin rasanya jika kami cari-cari penginapan di Kuala Lumpur tengah malam. Belum lagi beberes ta-ta-tutut segala macam yang pasti bikin telat jika harus kembali lagi ke airport. Makanya, pilihan terbaik tentu saja jatuh pada "hotel" pilihan kami, airport.
LCCT ini bisa dikatakan cukup baik sebagai tempat penyokong hidup Anda selama beberapa jam ke depan. Jangan cuma diam dan akhirnya bete sendiri, karena nggak mungkin ada hiburan dadakan di depan mata Anda. Namun, carilah sendiri hiburan itu dengan jalan-jalan keliling airport. Perut kami mulai lapar dan mata mulai jelalatan ngeliat resto-resto yang ternyata harganya cukup mahal. Bukan karena kami pelit (tapi emang bener!), tapi karena kami cuma bawa recehan Ringgit.
Hasil tanya-tanya dengan jawaban bahasa Upin-Ipin, kami coba makan di food court yang letaknya di sebelah kiri gedung airport, melewati terminal bus (beda gedung). Di Food Garden ini ada counter Nasi Padang, Nasi Campur Ayam, beverages, KFC, dan lainnya yang pada saat itu sudah tutup. Ruangannya luas, adem, dan tentunya suasananya tidak crowded seperti kafe-kafe mahal di dalam airport. Dan yang pasti, di sini tersedia pula free wi-fi yang membuat nongkrong semakin keceh.
Puas nongkrong mainan wi-fi selama 1 setengah jam lebih, akhirnya kami diusir secara halus oleh petugas. Saking halusnya, si mas petugas bahkan tidak mengucapkan satu patah kata pun. Cukup dengan menunjukkan secarik kertas notice yang artinya food court bakal tutup. Kini saatnya kami untuk mencari spot enak buat selonjoran. Namun sebelumnya kami harus mencari dulu tap water yang gratisan, lumayan buat nahan lapar sampai pagi.
Air minum gratisan bisa diperoleh di International Departure dekat dengan Old Town White Coffee, tepatnya di sebelah telepon umum dan toilet. Rasa airnya mirip kayak air ledeng yang biasanya buat sikat gigi di rumah saya. Entah itu air mateng atau bukan, tapi saya masih sehat-sehat saja, koq... selama traveling 6 hari ke depan hingga balik lagi ke Jakarta.
Mondar-mandir sana-sini ternyata sudah banyak lahan yang diambil orang-orang buat bobo-bobo. Akhirnya kami menemukan spot enak di sepanjang jalan indoor International Departure depan Marrybrown. Di tiap pinggiran pasti ada saja orang yang tiduran dengan matras kecil atau langsung selonjoran begitu saja di lantai. Bahkan kursi pemijat saja sudah penuh terisi orang-orang yang hendak tidur. Kami memilih ngemper di bawah counter yang berderet di sepanjang jalan-bersama dengan beberapa bule dan traveler lainnya.
Posisi tidur enak di International Departure |
Semua orang yang di dalam pada keluar termasuk kami juga harus cari tempat yang enak buat ngaso. Kami berniat untuk rebahan di dalam mushola, namun ternyata sudah penuh pula. Begitupun juga di lobby outdoor, sudah banyak orang-orang menempati kursi panjang. Akhirnya ada spot kosong di Domestic Arrival, tepat di depan Coffee Bean. Siapapun nggak malu-malu tidur begitu saja di tempat ini, mau orang tua sampai anak muda juga terlihat asyik leyeh-leyeh.
Aksi tidur massal di Domestic Arrival |
Selonjoran tanpa malu-malu |
Kacaunya, tiba-tiba suara alarm berbunyi dari arah kursi pemijat. Suaranya tiada henti selama 2 jam lebih hingga kami mau boarding. Namun apa boleh buat, lama-kelamaan suara alarm itu menjadi lagu nina bobo bagi kami bertiga. Dengan mata sedikit sayup-sayup sambil rebahan di lantai, saya bisa merasakan para petugas lalu-lalang tanpa menghiraukan kami.
Lumayan dapat "tidur ayam" sampai sejam hingga kami harus boarding sejam sebelum penerbangan. Biar badan nggak terlihat kumal dan muka kusut saat berhadapan dengan mbak-mbak penjaga counter dan para pramugari cantik, bandara ini memiliki shower room yang bisa dicoba. Tentunya gratis, lho!
LCCT memang tidak sebagus bandara yang satunya lagi, KLIA (Kuala Lumpur International Airport). Makanya nggak heran bila namanya LCCT (Low Cost Carrier Terminal). Tapi memang kebanyakan penerbangan murah dari Indonesia ke Kuala Lumpur biasanya ditujukan ke LCCT dengan waktu flight berikutnya yang berjarak jauh. Begitulah nasib traveler, suka dan duka tetap saja dijalani dengan senyuman.
"Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time"
0 nhận xét:
Đăng nhận xét