Curious what is in Batam?
It all started when I had to get involved in internship program from my campus. Far from my expectation, sooner or later, I had running a chance to live in another province-in Riau Islands, Batam.
For travelers who have never been to Batam, any ideas popped out from your heads about this island's condition? Sleepy little town? Dry and hot small island? The land of cheap cellphones? Or maybe a slightly different with some remote islands in the country-which have a traditional living?
A numerous of anxiety questions just showed up on my mind while I was staring the Hang Nadim airport through the plane window. However, my hunch turned out not entirely true. The streets in the city is quite neat and clean. I also couldn't find any poles and cables along the roadside. Cables had been planted under ground, so they don't spoil the aesthetic of city's view. Modernization had already "touched" the city's life, even more advanced than province's capital city, Tanjung Pinang.
Living for around 5 months there certainly made me familiar enough with some places in Batam. Its geographical location is not far from the lion country gives impact on the inhabitant's lifestyle. Various of entertainment venues scattered everywhere, from big malls, catchy cafes for hangout, classy restaurants, karaoke club, and lively pub for refreshing mind. Also a vibrant nightlife enliven the night atmosphere.
There are 3 famed malls in downtown: Nagoya Hill (not in Japan), Mega Mall Batam Center, and BCS (Batam City Square). The shops in these 3 malls majorly packed with fashion outlets with almost similar fashion mode as in Singapore. Not surprising if some teen girls look fashionable and bolder in dressing here. But the reality, Batam becomes the "landfill" for second/used goods from the neighboring country.
For business-brain, you must visit Lucky Plaza which situated across Nagoya Hill Mall. Buy low-priced cellphones to fill up your jeans' pockets or can be sold again via online shop, like buy and sell forum. The phones prices here can be 30% cheaper than any other cities in Indonesia due to duty free. Especially if a black market goods, the prices can be "wiggled". But in consequence with no warranty.
Penasaran ada apa di Batam?
Bermula ketika saya harus mengikuti program kerja praktek dari kampus. Nggak nyangka akhirnya saya bisa merasakan hidup di provinsi daerah di gugusan Kepulauan Riau, Batam.
Bagi traveler yang belum pernah ke Batam, kira-kira apa yang terbesit di kepala kalian tentang keadaan pulau ini? Kotanya kecil yang sepi hiburan? Pulau kecil yang gersang dan panas? Tempatnya handphone murah? Atau mungkin nggak jauh beda dengan pulau-pulau di pelosok Indonesia yang masih hidup tradisional?
Sejumlah pertanyaan rasa cemas muncul begitu saja di otak ketika saya sedang memandangi bandara Hang Nadim dari balik jendela pesawat. Namun ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya benar. Jalanan di kota cukup rapi dan bersih. Saya juga tidak melihat adanya tiang dan kabel listrik di pinggir jalan. Semua kabel sudah ditanam di bawah tanah sehingga tidak merusak estetika pemandangan kota. Modernisasi pun sudah "menyentuh" di kehidupan perkotaannya. Bahkan lebih maju daripada ibukota provinsinya, Tanjung Pinang.
Hidup selama kurang lebih 5 bulan di sana sudah pasti membuat saya cukup mengenal sebagian tempat di Batam. Letak geografisnya yang tidak jauh dari negeri singa berimbas pada gaya hidup para penduduknya. Berbagai tempat hiburan tersebar di mana-mana, mulai dari mall yang besar, cafe keceh buat nongkrong, restoran berkelas, karaoke club, dan pub yang asyik untuk melepas penat. Juga kehidupan malamnya yang meriah turut menghidupkan suasana.
Ada 3 mall beken yang berada di pusat kota: Nagoya Hill Mall (bukan di Jepang ya...), Mega Mall Batam Center, dan BCS (Batam City Square). Mayoritas toko-toko di ketiga mall ini diisi dengan outlet-outlet fashion dengan mode hampir mirip seperti di Singapura. Nggak heran bila cewek-cewek ABG di sini terlihat modis dan berani dalam berpakaian. Namun kenyataannya, Batam adalah tempat "buangan" barang second dari negara tetangganya.
Buat yang otak bisnis, kalian harus coba kunjungi Lucky Plaza yang letaknya berseberangan dengan Nagoya Hill Mall. Beli handphone murah buat koleksi-penuhin kantong celana atau bisa juga dijual lagi lewat online shops kayak FJB (Forum Jual Beli). Harga handphone di sini bisa 30% lebih murah daripada kota-kota lain di Indonesia karena bebas pajak. Apalagi bila barangnya black market, maka harganya bisa lebih "goyang" lagi. Namun biasanya dengan konsekuensi nggak dapat garansi.
Nagoya Hill Mall |
For hangout, around downtown and mall there are abundance of cafes and food courts. Adolescents seem have a habit of hanging out in long time with some fellas in cafe (common thing in Jakarta). My friend who also ever had lived in Batam for long time told me that such a lifestyle of teenagers have here.
"One day, I hanged out with friends in a cafe, but no waiter came to our table to serve us. Eventually, we didn't place any orders, but we chose instead left to another hangout place", told my friends.
It looks like kind of pampered and high-fed lifestyle had rooted in teens' life here. The city becomes more lively as the wheels of economic keeps turning through industrial sectors. No wonder if I often saw some expats and their families in the city. Even the Singaporeans also often visit Batam only for lunch-drink and buy some items then return to their country. Some stores and supermarkets also can accept the transaction with 2 currencies.
As far as my observation by traveled around the city, I barely had a chance to meet the native residents of Batam island. From public transportation drivers to office workers that I had ever met, all of them were immigrants from other islands who worked in Batam. My friend as well, actually his parents came from Semarang who had lived in Batam for decades. Obviously, they're not the natives. So, where are they?
During my internship there, I lived in a flats which was located at the edge-east of the island. Not far from there I could see some of small villages at the outskirts area, far away from downtown. The immigrant of Malays ethnic had come and lived here since 300 A.D.. Some of them lives on a semi-permanent wooden house at the shore called kelong.
Similar villages like these in Batam can also be found around Malay area, such as: Malaysia, Singapore, Indonesia, until Philippines. But, along Kabil to Batu Besar there are still migrants that assimilate with the locals. Mostly, they come from Padang and other areas in Sumatera, even Ambon to Nusa Tenggara. Hence, this island got another name as multicultural metropolitan island. Because of rapid city development, so the locals have to preserve their identity in simplicity as suburban.
Buat nongkrong, di sekitar pusat kota dan mall terdapat banyak sekali cafe dan food court. Kawula muda di sini nampaknya suka sekali nongkrong berlama-lama bareng teman-teman di cafe (hal yang biasa di Jakarta). Teman saya yang sudah lama tinggal di Batam bercerita bahwa memang seperti itu gaya hidup anak muda di sini.
"Pernah dulu teman-teman lagi pada kumpul di suatu cafe, tapi pelayannya nggak kunjung datang. Bukannya jalan sendiri buat ngajuin pesanan, tapi malah pindah tempat tongkrongan", lanjut teman saya.
Sepertinya gaya hidup konsumtif yang apa-apa maunya dilayani telah mengakar di kehidupan anak muda di sini. Kota menjadi sangat hidup karena roda perekonomian terus berputar lewat sektor-sektor industri. Nggak heran bila saya sering sekali melihat orang-orang asing beserta keluarganya di sekitar kota. Bahkan warga Singapura sendiri juga sering main ke Batam cuma untuk makan-minum dan beli barang kemudian pulang lagi. Beberapa toko dan supermarket juga bisa menerima transaksi dengan 2 mata uang.
Sepanjang pengamatan dengan cara berkeliling sekitar kota, saya hampir tidak pernah bertemu dengan warga lokal asli pulau Batam. Dari sopir angkot hingga pekerja kantoran yang pernah saya temui, semuanya adalah orang luar pulau yang bekerja di Batam. Begitu juga dengan teman saya, ternyata orang tuanya asli Semarang yang sejak lama tinggal di Batam. Jadi mereka semua bukan warga lokal aslinya. Lantas pada kemana mereka?
Selama magang di sana saya tinggal di sebuah rusun yang letaknya di ujung timur pulau. Tidak jauh dari situ saya bisa melihat beberapa perkampungan yang letaknya memang di pinggiran, jauh dari pusat kota. Warganya adalah orang Melayu pendatang yang hidup sejak tahun 300-an Masehi. Beberapa dari mereka hidup di atas sebuah rumah panggung kayu semi permanen yang disebut kelong.
Pedesaan kelong seperti di Batam ini dapat ditemukan di daerah Melayu, seperti: Malaysia, Singapura, Indonesia, hingga Filipina. Namun di sepanjang daerah Kabil sampai Batu Besar ini tetap saja masih ada warga luar pulau yang membaur. Biasanya mereka berasal dari Padang dan daerah Sumatera lainnya, bahkan Ambon hingga Nusa Tenggara. Oleh karena itu, pulau ini pun mendapat julukan sebagai pulau metropolitan yang multikultural. Karena terlalu pesatnya perkembangan kota, maka warga lokal harus mempertahankan jati diri mereka dalam kesederhanaan sebagai kaum pinggiran.
Kelong village (Source: shalomkelong.blogspot.com) |
Turi Beach |
One of the popular beach located at the edge-east of the island named Turi Beach. This vast land occupied by some luxurious resorts with scenic landscape facing directly to Singapore Strait. Lots of travel agencies who bring their tour group to this resort.
Sadly, just a few kilometers from that beach there's Kabil integrated industrial estate. Dozens of factories swiftly transform the scenic beaches into a vast red soil land for industrial estate. Of course this problem will bring an environmental disaster on the east coast of Batam island.
Soal pariwisata, saya akui Batam tidak memiliki begitu banyak tourism spot budaya untuk dikunjungi. Dikarenakan tidak adanya sumber literatur beserta peninggalannya yang menjelaskan sejarah pulau ini. Jadi selama di Batam saya hanya bisa explore pantai-pantai terdekat dan rumah-rumah ibadah saja.
Salah satu pantai yang tenar berada di ujung timur laut pulau, namanya pantai Turi. Tanah yang sangat luas ini ditempati oleh beberapa resort mewah dengan pemandangan indah yang langsung menghadap ke Selat Singapura. Banyak sekali agen perjalanan yang membawa rombongan tur nya ke resort ini.
Sayangnya, hanya beberapa kilometer dari lokasi pantai Turi terdapat kawasan industri terpadu Kabil. Puluhan pabrik dengan cepat "menyulap" keindahan pantai-pantai menjadi lahan lapang tanah merah yang sangat luas untuk dijadikan kawasan industri. Tentu saja hal ini bakal membawa dampak buruk bagi lingkungan di pesisir timur pulau Batam.
Turi Beach |
Turi Beach Resort |
Relaxing next to waterpool |
Batam or Mars? |
Vast red soil field near my flats |
Turi Beach Resort View (Source: travelocity.com) |
Batam map |
A: Flats where I lived and vast red soil field, Kabil
B: Turi Beach, Nongsa
C: Nagoya Hill Mall
D: Mega Mall, Batam Center
E: Welcome to Batam
Cerita di Batam lainnya:
[Road Less Traveled] Pengalamanku Menjadi "Orang Pinggiran" Batam
[Road Less Traveled] Kabil, Eksplorasi di Ujung Timur Batam
"It's not just about the destination, but the journey"
0 nhận xét:
Đăng nhận xét